Penjelasan



USUL INITIATIEF.

UNDANG-UNDANG NO.  .....

TANGGAL  .....  1958.

tentang

PERKAWINAN.

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang:

 

    Bahwa perlu adanja satu peraturan umum jang mengatur perkawinan untuk seluruh warga-negara Indonesia, dengan tidak membedakan golongan dan suku bangsa, dan tidak mengurangi hak tiap warga-negara untuk kawin menurut agamanja masing-masing sesuai dengan dasar-negara: Pantjasila.

 

Memperhatikan:

 

    Ordonansi-ordonansi: S. 33-74 jo. 36-607, S. 29-348, S. 32-482 Bijblad 1932 No. 14266 U.U. No. 22 tahun 1946.

 

Mengingat:

 

    Pasal 7 ajat 2 dan 4, pasal 26, pasal 29 ajat 1, pasal 45 ajat 1 dan 2 dan pasal 89 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia.

 

    Dengan persetudjuan Dewan Perwakilan Rakjat:

 

Memutuskan:

 

    1. Membatalkan segala peraturan tentang perkawinan warga-negara Indonesia jang bertentangan dengan ini;

    2. Menetapkan peraturan sebagai berikut:

 

UNDANG-UNDANG TENTANG

PERKAWINAN.

 

BAB I.

 

TENTANG PERKAWINAN.

 

Bahagian I.

Tentang dasar perkawinan.

 

Pasal 1.
 

    1. Perkawinan ialah ikatan lahir-bathin antara seorang wanita dan pria, jang dimaksudkan untuk hidup berkeluarga, dan harus dilangsungkan menurut aturan-aturan jang ditetapkan dalam Undang-undang.

    2. Dasar perkawinan adalah perkawinan-tunggal.

 

Bahagian II.

Tentang dasar perkawinan.

 

Pasal 2.
 

    1. Tiap perkawinan jang dilangsungkan menurut peraturan sesuatu agama dan/atau Hukum Adat jang tidak bertentangan dengan dasar-dasar negara adalah sah.

    2. Tiap perkawinan jang dilangsungkan tidak menurut peraturan sesuatu agama dan/atau Hukum Adat jang tidak bertentangan dengan dasar-dasar negara adalah sah bilamana dilakukan dihadapan Kepala Daerah, dimana ada Kantor Pentjatat Perkawinan.

    3. Tiap warga-negara jang kawin, baik menurut ajat 1 pasal 2 bahagian II maupun menurut ajat 2 pasal 2 bahagian II, diharuskan mentjatatkan perkawinannja kepada pegawai Kantor Pentjatat Perkawinan.

 

Bahagian III.

Tentang sjarat-sjarat Perkawinan.

 

Pasal 3.
 

    1. Perkawinan harus didasarkan atas kemauan bulat dari kedua belah fihak sendiri.

    2. Perkawinan pertama dari seorang wanita/pria jang belum mentjapai umur 21 tahun, harus dapat persetudjuan dari orang tuanja.

    3. Djika terdapat perselisihan pendirian antara orang tua dengan fihak-fihak jang akan kawin jang tidak dapat ditjari persesuaian oleh pegawai Pentjatat Perkawinan, maka Hakim Pengadilan Negeri memberi keputusan terachir dengan mengindahkan hukum agama/adatnja serta kepentingan fihak-fihak jang bersangkutan.

    4. Tiap perkawinan harus disaksikan oleh sedikit-dikitnja dua orang; seorang dari fihak wanita dan seorang dari fihak pria.

 

Pasal 4.
 

    1. Perkawinan hanja diizinkan, djika kedua belah fihak telah akil baliq, jaitu fihak pria sekurang-kurangnja telah mentjapai umur 18 tahun dan fihak wanita sekurang-kurangnja telah mentjapai umur 15 tahun.

    2. Penjimpangan dari ajat 1 hanjalah diperbolehkan dalam keadaan memaksa dengan persetudjuan Hakim Pengadilan Negeri.

 

Pasal 5.
 

    Perkawinan dilarang antara dua orang jang berhubungan darah atau berhubungan semenda dalam keturunan lurus.

 

Pasal 6.
 

    Wanita djanda boleh kawin lagi sesudah 100 hari, terhitung dari putusnja perkawinan jang terlebih dahulu atau djika ia ternjata sedang hamil, sesudah melahirkan anak, ketjuali djika dalam hukum agama/adatnja ditetapkan peraturan lain.

 

Pasal 7.
 

    Bekas suami-isteri boleh kawin kembali hanja dua kali ketjuali djika ada penetapan lain dalam Peraturan Agama/Adatnja masing-masing.

 

Bahagian IV.

Tentang melangsungkan dan mentjatatkan perkawinan.

 

Pasal 8.
 

    1. Seorang pria dan seorang wanita jang akan melakukan perkawinan, harus memberi tahu tentang maksud perkawinannja kepada pegawai pentjatat perkawinan sekurang-kurangnja 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan.

    2. Pegawai pentjatat perkawinan segera mengumumkan perkawinan jang dimaksudkan itu dikantor pentjatat perkawinan, sekurang-kurangnja dalam 7 hari sebelum perkawinan itu dilangsungkan.

    3. Djika didalam waktu 7 hari tidak ada jang memadjukan keberatan terhadap perkawinan jang dimaksudkan itu, pegawai pentjatat perkawinan memberitahukan kepada mereka jang berkepentingan, bahwa perkawinannja dapat dilangsungkan.

 

Pasal 9.
 

    Dengan tidak mengurangi hukum agama/adatnja masing-masing, perkawinan dilangsungkan dihadapan dua orang saksi, dengan mentjatatkan nama pria dan wanita menurut aturan-aturan jang tersebut dalam pasal 10 dari Undang-undang ini.

 

Pasal 10.
 

    1. Pentjatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pentjatat perkawinan jang ditundjuk oleh Pemerintah, hal mana diatur dalam Peraturan Pemerintah.

    2. Pegawai pentjatat perkawinan mentjatat tentang agama tiap pria dan wanita jang akan kawin.

    3. Pegawai pentjatat perkawinan bertugas kewadjiban selain dari mentjatat perkawinan, terlebih dahulu mentjatat apakah sjarat-sjarat perkawinan jang tersebut dalam pasal 3 sampai dengan 7 dipenuhi oleh pria dan wanita jang akan kawin ini.

    4. Pegawai pentjatat perkawinan dapat menahan sementara atau tidak mentjatat suatu perkawinan, djika sjarat-sjarat jang tersebut dalam pasal 3 sampai dengan 7 belum atau tidak dipenuhi.

 

Pasal 11.
 

    1. Pegawai pentjatat perkawinan memeriksa surat keterangan belum kawin, surat tjerai, surat pernjataan tidak sah perkawinan atau surat kematian suami/isteri seorang djanda wanita atau pria djanda jang akan kawin.

    2. Didalam keadaan luar biasa, surat keterangan jang dimaksudkan dalam ajat 1 dapat diganti dengan keterangan dua orang saksi.

 

Pasal 12.
 

    1 Pegawai pentjatat perkawinan jang mentjatat suatu perkawinan sedangkan ia mengetahui atau seharusnja mengetahui, bahwa pasal 3 sampai dengan 7 dilanggar, dapat dikenakan hukuman djabatan.

    2 Djika ternjata didalam perbuatannja jang termaksud dalam ajat 1, pegawai itu melakukan ketjurangan atau menerima suapan, perbuatan itu dianggap suatu kedjahatan dan dapat dihukum menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pihak jang memberi suapan dapat pula dihukum atas kesalahan kedjahatan jang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

    3. Orang jang memberi keterangan palsu tentang sjarat-sjarat jang disebut dalam pasal 3 sampai dengan 7 kepada pegawai pentjatat perkawinan, dapat dihukum kurungan selama-lamanja 1 tahun.

 

Pasal 13.
 

    1. Barang siapa melangsungkan perkawinan dengan tidak mentjatatkan perkawinan kepada pegawai pentjatat perkawinan dalam batas waktu satu bulan dapat dihukum kurungan selama-lamanja 1 tahun.

    2. Perkawinan jang termaksud dalam ajat 1 pasal 13 dianggap melanggar Undang-undang ini.

 

Pasal 14.
 

    Pria dan wanita jang hidup sebagai suami-isteri dengan tidak melangsungkan perkawinan jang harus ditjatatkan kepada pegawai pentjatat perkawinan dapat dihukum pendjara selama-lamanja 5 tahun.

 

Bahagian V.

Tentang perdjandjian perkawinan.

 

Pasal 15.
 

    1. Tiap perkawinan harus disertai penanda-tangan surat perdjandjian oleh kedua belah fihak.

    Blanco perdjandjian perkawinan disediakan oleh kantor pentjatat perkawinan. (Lihat lampiran).

    2. Perdjandjian tersebut tidak sah bila melanggar batas-batas kesusilaan.

    3. Perdjandjian tersebut berlaku sesudah perkawinan dilangsungkan

 

Bahagian VI.

Tentang perkawinan tjampuran.

 

Pasal 16.
 

    Perkawinan tjampuran karena perbedaan hukum diatur dalam Undang-undang tersendiri.

 

 

BAB II.

 

TENTANG HARTA BENDA.

 

Bahagian I.

Tentang harta benda dalam perkawinan

 

Pasal 17.
 

    1. Harta benda pembawaan masing-masing dan harta benda jang diperoleh masing-masing suami-isteri sendiri sebagai hadiah atau warisan, tetap mendjadi miliknja masing-masing.

    2. Harta benda jang diperoleh selama perkawinan usaha bersama mendjadi milik bersama.

 

Pasal 18.
 

    1. Baik suami maupun isteri, masing-masing mempunjai hak sepenuhnja untuk melakukan tindakan-tindakan hukum mengenai harta benda masing-masing.

    2. Mengenai harta benda milik bersama jang penting, salah satu fihak dapat bertindak hanja dengan persetudjuan pihak jang lain.

 

Pasal 19.
 

    Dalam perdjandjian tertulis pada waktu perkawinan atau lain-lain perdjandjian tertulis sesudah itu, dapat diadakan peraturan jang menjimpang dari azas-azas tersebut dalam pasal 17 dan 18.

 

Pasal 20.
 

    Bilamana perkawinan diputuskan, harta-benda milik bersama dibagi setjara adil antara bekas suami-isteri/anak/anak-anak.

 

Bahagian II.

Tentang warisan.

 

Pasal 21.
 

    Urusan warisan diatur lebih landjut dalam Undang-undang tersendiri.

 

 

BAB III.

 

TENTANG PERTJERAIAN.

 

Pasal 22.
 

    1. Ikatan perkawinan hanja dapat diputuskan dengan djalan pertjeraian, djika ternjata bahwa kehidupan kekeluargaan suami-isteri tidak mungkin diteruskan lagi.

    2. Hakim pengadilan negeri dapat memberikan pertjeraian atas permintaan fihak jang menderita, jang harus mengadjukan alasan-alasan seperti berikut:

    a. Djika salah satu fihak berzinah, pemabuk, pendjudi, pemadat atau melakukan kedjahatan jang serupa itu, jang mengganggu keamanan rumah-tangga.

    b. Djika salah satu fihak meninggalkan jang lain selama 6 bulan dengan tiada alasan jang sah.

    c. Djika salah satu fihak melakukan kedjahatan jang dihukum pendjara 2 tahun atau lebih.

    d. Djika salah satu fihak melakukan penjiksaan terhadap fihak jang lain.

    e. Djika satu fihak sakit gila atau menderita sakit jang membahajakan kesehatan fihak jang lain atau keturunannja atau salah satu fihak peluh (impotent).

    f. Djika suami sengadja tidak memberi nafkah pada isteri selama waktu tiga bulan.

    g. Djika antara kedua belah fihak terdapat perselisihan jang tidak mungkin didamaikan lagi.

 

Pasal 23.
 

    1. Sesudah bertjerai, ibu dan ajah masih tetap berkewadjiban memelihara dan mendidik anaknja.

    2. Sesudah pertjeraian, anak jang masih menjusu ikut dengan ibunja. Setelah anak itu disapih dan apabila timbul perselisihan antara ibu dan ajah, karena masing-masing ingin memeliharanja dan tidak dapat mentjapai persetudjuan, maka hakim pengadilan negeri harus mengambil keputusan berdasarkan atas kepentingan anak itu.

 

Pasal 24.
 

    1. Apabila sesudah pertjeraian anak dipelihara oleh ibunja, maka ajahnja harus memikul biaja penghidupan dan pendidikan jang diperlukan oleh anak itu.

    2. Djumlah biaja dan lamanja waktu pertanggungan tersebut dalam ajat 1 dapat dibuat persetudjuan tersendiri antara ajah dan ibunja.

    3. Apabila persetudjuan dalam ajat 2 tidak dapat ditjapai maka hakim pengadilan negeri harus memutuskannja.

 

Pasal 25.
 

    Biaja penghidupan dan pendidikan jang dimaksud dalam pasal 24 dapat diberikan berupa uang tunai, barang bergerak dan tidak bergerak jang dibagikan pada anak itu.

 

Pasal 26.
 

    Persetudjuan atau keputusan jang dibuat pada waktu bertjerai mengenai biaja penghidupan dan pendidikan anak itu, tidak boleh menghalang-halangi fihak anak untuk mengadjukan kepada ajahnja tuntutan jang lebih banjak dari djumlah jang telah ditetapkan dalam persetudjuan atau keputusan jang dimaksud dalam pasal 24.

 

Pasal 27.
 

    1. Djika pertjeraian terdjadi maka bekas suami wadjib menanggung hidup bekas isterinja selama belum bersuami lagi.

    2. Hakim jang memberikan keputusan pertjeraian, maka hakim harus menetapkan djuga djumlah sokongan jang harus diberikan oleh fihak suami pada bekas isterinja.

 

Pasal 28.
 

    1. Keputusan pertjeraian harus ditjatat dalam daftar Kantor Pentjatat Perkawinan ditempat pertjeraian, Kantor Pengadilan/Hakim, jang memberi keputusan pertjeraian dan salinannja dikirim untuk ditjatat dikantor dimana perkawinannja dilangsungkan.

    2. Untuk pelanggaran pegawai, pegawai pentjatat perkawinan mengenai pentjatatan pertjeraian berlaku pula pasal hukuman mengenai pentjatatan perkawinan.

 

 

Tentang kedudukan anak-anak.

 

Pasal 29.
 

    Urusan anak-anak akan diatur dengan Undang-undang tersendiri.

 

BAB IV.

 

TENTANG HAL-HAL CHUSUS DAN PERATURAN PERALIHAN.

 

Pasal 30.
 

    Pelaksanaan Undang-undang ini dan hal-hal jang chusus diatur lebih landjut dalam Undang-undang.

 

Pasal 31.
 

    Segala perkawinan, pertjeraian dan segala sesuatu jang berhubungan dengan perkawinan jang terdjadi sebelum Undang-undang ini berlaku jang didjalankan menurut peraturan-peraturan lama-lama dianggap sah.

 

Pasal 32.
 

    Mengenai soal-soal jang belum diatur dalam Undang-undang ini, tetap berlaku peraturan-peraturan lama djika tidak bertentangan dengan maksud Undang-undang ini.

 

Pasal penutup.

 

    Undang-undang ini berlaku pada hari diumumkannja.

 

 

      Disahkan di Djakarta

      pada tanggal ..... 1958.

      Presiden Republik Indonesia,

       

      SOEKARNO.

       

      Menteri Agama,

      ..........

       

      Diundangkan

      pada tanggal ..... 1958.

       

       

      Menteri Kehakiman.

       

       

      ..........

 

PENDJELASAN.

 

UMUM.

 

    Dengan bangkitnja kebangsaan di Indonesia dalam abad ke-20 mulai djuga dirasakan kedjanggalan-kedjanggalan dan keburukan-keburukan dalam masjarakat Indonesia, terutama mengenai hukum perkawinan jang tidak dapat lebih lama lagi dipertahankan. Sistim perkawinan jang tidak lagi sesuai dengan keadaan djaman, membangkitkan masjarakat Indonesia untuk mewudjudkan suatu hukum perkawinan jang sedjalan dengan dasar negara jaitu Negara Kesatuan jang berdasarkan Pantjasila.

 

DASAR.

 

    Karena dinegara kita ada beberapa matjam agama dan kepertjajaan, serta berdasar atas pelbagai adat, sehingga perkawinan di Indonesia dilakukan menurut peraturan-peraturan berbagai-bagai hukum agama, adat dan kepertjajaan maka Undang-undang ini berdasar atas:

 

    a. Pengakuan sah segala perkawinan menurut agama.

    b. Pengakuan sah tjara perkawinan menurut hukum adat jang tidak bertentangan dengan dasar Negara Pantjasila.

    c. Mengatur perkawinan orang-orang jang melaksanakan perkawinannja tidak menurut a dan b.

 

    Disamping itu pentjatatan perkawinan dipandang perlu supaja negara dapat mengatur akibat-akibat jang timbul karena perkawinan.

 

BENTUK.

 

    Sesuai dengan bentuk negara kita, jaitu suatu negara hukum jang berbentuk kesatuan maka Undang-undang Perkawinan itu harus dapat memberikan kesatuan hukum untuk segala golongan warga-negara.

     

    Dengan terwudjudnja kesatuan hukum, dapatlah dihapuskan segala peraturan jang memisahkan berbagai-bagai golongan bangsa Indonesia jang sekarang sudah merupakan kesatuan warga-negara Indonesia, ketjuali djika ada penetapan lain dalam hukum agama masing-masing.

 

DJIWA.

 

    Sesuai dengan dasar Pantjasila jang sudah djelas dapat mempersatukan bangsa Indonesia, maka djiwa dari Undang-undang Perkawinan itu harus pula berdjiwa Pantjasila, agar kesatuan bangsa dapat terus dipelihara.

    Pada waktu ini dinegara kita berlaku bermatjam-matjam peraturan tentang perkawinan bagi golongan agama, golongan penduduk, golongan suku bangsa jang berlainan pula bunjinja.

 

    1. Untuk golongan penduduk Tionghoa dan Eropah berlaku "Burgerlijk Wetboek".

    2. Untuk golongan penduduk Indonesia Kristen berlaku "Ordonansi Perkawinan Indonesia di Djawa, Minahasa dan Amboina" (S. 33-74 jo 36-607), sedjalan bagi golongan Indonesia Kristen diluar Djawa, Minahasa dan Ambon dan golongan Timur asing jang bukan Tionghoa berlaku hukum adat dan hukum agama masing-masing.

    3. Untuk golongan Islam berlaku:

    a. Ordonansi Nikah ditanah Djawa dan Madura, Staatsblad 1929 No. 348.

    b. Ordonansi Nikah daerah Surakarta dan Jogjakarta, Staatsblad 1933 No. 98.

    c. Ordonansi Nikah Tanah Seberang, Staatsblad 1932 No. 482 dan keterangan Ordonansi Nikah Tanah Seberang Bijblad 1932 No. 14266.

    4. Pentjatat nikah, talaq dan rudjuk, jaitu Undang-undang No. 22 tahun 1946.

 

    Mengingat akan tingkat keadaan bangsa pada waktu ini, sudah tiba waktunja untuk mempersatukan Peraturan-peraturan perkawinan jang tersebut diatas, maka perlu selekas-lekasnja terwudjudnja satu Hukum Perkawinan jang dapat meliputi seluruh warga-negara Indonesia dengan tidak membedakan golongan penduduk, agama ataupun suku bangsa, jang berdasarkan atas keadilan.

    Hanja Undang-undang Perkawinan jang berdjiwa dan bersendi atas Pantjasila akan dapat mendjamin kesatuan bangsa dan akan lebih mendjamin ketenteraman rumah-tangga dan keluarga, hal jang penting sekali bagi ketenangan masjarakat.

 

PENDJELASAN PASAL DEMI PASAL.

 

Pasal 1.
 

    Dalam pasal ini digambarkan kedudukan perkawinan dalam pergaulan hidup bangsa, jang mempunjai kedudukan penting bagi penjusunan rumah-tangga bagi bangsa Indonesia, jang mengakui kesatuan hidup lahir dan hidup batin, perlu menegaskan adanja ikatan hidup lahir-batin antara pria dan wanita dalam penghidupan perkawinan.

    Dasar perkawinan tunggal dipandang mendjamin ketenteraman dan kebahagiaan keluarga dalam rumah-tangga.

     

    Karena penghargaan jang sama antara pria dan wanita sebagai manusia merupakan sendi utama bagi langsungnja hidup perkawinan jang tenteram.

 

Pasal 2.
 

    Lihat pendjelasan umum mengenai Dasar.

 

Pasal 3.
 

    1. Maksud ajat 1 ini adalah supaja tiap perkawinan dilangsungkan dengan tiada paksaan dari pihak manapun djuga, sehingga dengan demikian dapat dihindari kawin paksa jang pada waktu jang lampau sering terdapat dimasjarakat kita.

    Kebahagiaan dalam perkawinan tergantung kepada orang-orang jang mendjalani perkawinan itu sendiri.

    2. a. Batas umur 21 tahun didasarkan atas pengertian jang umumnja diakui bahwa pemuda/pemudi jang belum berumur 21 tahun dianggap belum dapat mengambil keputusan jang tepat dalam hal-hal jang berakibat djauh sepandjang hidup.

    b. Orang jang pernah kawin sebelum umur 21 tahun karena berpisah mati/tjerai, dianggap telah mempunjai pengalaman dalam perkawinan, sehingga tidak perlu diharuskan lagi minta lain dari orang tua karena dipandang telah tjukup mempunjai rasa tanggung-djawab atas diri sendiri.

    c. Dalam hal tidak ada orang tua, maka izin didapat dari orang jang ditentukan/dianggap sebagai wakil orang tuanja.

    3. Sesungguhnja tidak begitu besar kemungkinannja, bahwa akan dilangsungkan perkawinan jang tidak memenuhi sjarat dengan diharuskannja pegawai Pentjatat Perkawinan menjelidiki apakah kedua belah fihak telah memenuhi sjarat dalam pasal 3 sampai dengan 7. Akan tetapi haruslah diadakan djuga peraturan djika masih terdjadi pelanggaran terhadap sjarat-sjarat perkawinan, jang telah ditetapkan.

    4. Saksi-saksi dapat terdiri dari keluarga mempelai pria/wanita atau orang-orang lain diatas umur 21 tahun.

 

Pasal 4.
 

    Dengan mengambil batas umur 18 tahun untuk pria dan 15 tahun untuk wanita dimaksud untuk mentjegah perkawinan dibawah umur jang mengakibatkan melemahkan bangsa dikemudian hari dan merusak kesehatan suami atau isteri jang bersangkutan.

 

Pasal 5.
 

    Jang dimaksud dalam pasal ini ialah perkawinan antara:

    1. Bapak atau ibu dengan anak, nenek dengan tjutju dan sebagainja.

    2. Bapak atau ibu mertua dengan menantu.

    3. Bapak atau ibu tiri dengan anak tiri.

    4. Saudara dengan saudara.

    5. Saudara dengan saudara bapak atau ibu.

    6. Saudara dengan saudara nenek.

 

Pasal 6.
 

    Maksud pembatasan waktu 100 hari ditetapkan dalam pasal ini ialah untuk memberi kepastian, bahwa wanita, jang sudah tidak terikat lagi dalam suatu ikatan perkawinan, kawin lagi, tidak hamil dari bekas suaminja.

    Dalam perkataan "putusnja perkawinan" dimaksud segala matjam pemutusan perkawinan, seperti pertjeraian, pembatalan perkawinan oleh Hakim atau djika suami meninggal.

 

Pasal 7.
 

    Pembatasan tidak lebih dari dua kali ini ditetapkan untuk mentjegah mudahnja pengambilan keputusan untuk bertjerai dan bebas kawin lagi dengan suami/isterinja.

    Kawin kembali tidak lebih dari dua kali dianggap tjukup untuk menentukan apakah mereka dapat melangsungkan hidup perkawinannja seterusnja atau tidak.

 

Pasal 8.
 

    Perkawinan adalah suatu kedjadian jang banjak sangkut-pautnja dengan pergaulan hidup dalam masjarakat, maka dipandang perlu untuk diketahui oleh umum apakah tidak ada halangan/keberatan terhadap dilaksanakannja suatu perkawinan.

    Untuk mentjapai maksud itu maka pada masjarakat diberi kesempatan untuk mengetahui adanja maksud suatu perkawinan dengan djalan pengumuman hal itu di Kantor Pentjatat Perkawinan.

    Dalam waktu jang telah ditentukan, masjarakat dapat mengadjukan keberatannja, hingga dengan demikian suasana perkawinan dapat dilangsungkan dengan teratur dan dalam suatu ketenangan.

    Batas-batas waktu dalam pasal ini dipakai sebagai dasar.

    Diluar pulau Djawa seharusnja pasal ini dilaksanakan dengan kebidjaksanaan.

 

Pasal 9.
 

    Perkawinan jang disebut dalam pasal ini adalah perkawinan jang dimaksud oleh pasal 2 ajat 2.

 

Pasal 10.

 

    Dalam Negara Hukum perlu adanja pentjatatan jang teratur mengenai sesuatu jang bersangkut-paut dengan warga-negaranja misalnja kelahiran, kematian, perkawinan, dan lain-lain dan untuk mendjaga agar djangan ada kekatjauan, maka perlu soal perkawinan itu mendapat kepastian hukum.

 

Pasal 11.
 

    Ketentuan dalam ajat 1 sudah tjukup djelas.

    Dalam ajat 2 dimuat ketentuan, bahwa bagi orang jang tidak memberi bukti-bukti jang njata diberi kesempatan untuk mengganti dengan keterangan saksi-saksi atau dengan mengangkat sumpah. Dari golongan jang berkeberatan bersumpah, sumpah itu dapat digantikan dengan pernjataan.

 

Pasal 12.
 

    1. Jang dimaksud dengan hukum djabatan dalam pasal ini ialah hukuman berupa:

    a. Hukuman petjat.

    b. Hukuman turun pangkat atau tingkat.

    c. Hukuman potong gadji.

    d. Hukuman tidak dapat naik gadji pada waktu jang semestinja.

    e. Hukuman tidak dapat naik pangkat atau tingkat pada waktu jang semestinja.

    f. Hukuman tegoran.

    2. Ajat 2 sudah djelas karena dikembalikan kepada Hukum Pidana.

 

Pasal 13.
 

    Tjukup djelas.

 

Pasal 14.
 

    Hukuman seberat itu diputuskan untuk mendjaga tidak hanja agar aturan dalam Undang-undang ini tidak dilanggar, tetapi djuga agar djangan terdjadi pelanggaran kesusilaan jang menentang kehidupan perkawinan jang mendjadi pokok azas bagi masjarakat kita.

 

Pasal 15.
 

    Kepada jang berkepentingan diberi kesempatan untuk mengadakan perdjandjian tertulis sebelum dilangsungkan perkawinan.

    Karena kita mengetahui akan belum sadarnja masjarakat mengenai baiknja membuat perdjandjian, maka dalam Undang-undang ini ditentukan, bahwa pegawai-pegawai Pentjatat Perkawinan diharuskan menawarkan pembuatan perdjandjian antara suami isteri sebelum dilangsungkan perkawinan.

 

Pasal 16.
 

    Tjukup djelas.

 

Pasal 17.
 

    Jang dimaksud dengan harta-benda milik bersama dalam pasal ini ialah pentjaharian jang diusahakan bersama dan pentjaharian jang diusahakan oleh suami atau isteri bilamana jang lain tinggal dirumah mengurus keperluan bersama.

 

Pasal 18.
 

    Jang dimaksud dengan harta-benda jang penting ialah barang berharga (vitaal) menurut keadaan rumah-tangga, jang memungkinkan timbulnja perselisihan antara suami-isteri untuk mentjegah tindakan sewenang-wenang dari satu pihak dengan tidak disetudjui pihak jang lain perlu ditetapkan peraturan-peraturan jang menentukan, bahwa tindakan salah satu pihak terhadap harta-benda milik bersama jang penting baru dianggap sah dengan persetudjuan pihak jang lain.

 

Pasal 19.
 

    1. Dalam Surat Perdjandjian Perkawinan dapat diisi keinginan-keinginan atas persetudjuan kedua belah pihak sebagai dimaksud dalam pasal 15 Undang-undang ini.

    2. Dalam lain-lain surat perdjandjian itu diperbolehkan pula diadakan perdjandjian-perdjandjian jang menjimpang dari ketentuan-ketentuan dalam pasal 17 dan 18 Undang-undang ini.

 

Pasal 20.
 

    Untuk melaksanakan pembagian jang adil diakui bahwa dalam hal ini sukar untuk menentukan pembagian jang tegas. Hal ini diserahkan pada pertimbangan suami-isteri dengan mengingat akan tenaga masing-masing jang diberikan dalam usaha mendapatkan harta-benda milik bersama itu. Bilamana tidak tertjapai persesuaian paham, maka hal itu dapat dibawa kemuka pengadilan.

 

Pasal 21.
 

    Tjukup djelas.

 

Pasal 22.
 

    1. Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada jang menderita memadjukan tuntutan pertjeraian kepada Hakim.

    2. Hakim Pengadilan Negeri, dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam peraturan chusus, dapat membubarkan perkawinan dengan djalan pertjeraian atas permintaan pihak jang menderita, karena salah satu pihak melanggar satu atau beberapa pasal dari pada surat perdjandjian perkawinan atau djika antara kedua belah pihak terdapat perselisihan jang tidak mungkin didamaikan lagi.

 

Pasal 23.
 

    Untuk melindungi hak anak jang membutuhkan asuhan orang tua, maka perlu diatur nasib anak-anak jang mendjadi korban pertjeraian antara bapak dan ibu.

    Dalam hal ini diutamakan kepentingan anak.

 

Pasal 24.
 

    Sesuai dengan pendjelasan pasal 23, maka apabila si bapak melalaikan kewadjibannja, dia dapat dituntut dimuka Pengadilan Negeri.

 

Pasal 25.
 

    Dalam pasal ini, kewadjiban bapak terhadap anaknja untuk membiajai penghidupan dan pendidikannja disesuaikan dengan keadaan dan kekuatan bapak sehingga tidak akan menimbulkan kesulitan dalam melaksanakan kewadjibannja.

 

Pasal 26.
 

    Bilamana seorang anak merasa dirinja diperlakukan tidak adil oleh suatu peraturan sebagai akibat dari persetudjuan antara ibu dan bapak atas keputusan Hakim Pengadilan Negeri, maka dia berhak memadjukan tuntutan.

 

Pasal 27.
 

    Untuk melindungi isteri atas pertjeraian sewenang-wenang perlu diadakan ketentuan djaminan hidup bagi isteri jang ditjerai.

    Sokongan pada bekas isteri ditetapkan oleh Hakim.

 

Pasal 28.
 

    Tjukup djelas.

 

Pasal 29.
 

    Tjukup djelas.

 

Pasal 30.
Tjukup djelas.

 

Pasal 31.
 

    Tjukup djelas.

 

Pasal 32.
 

    Tjukup djelas.

 

Lampiran.

 

SURAT PERDJANDJIAN

PERKAWINAN.

 

    Jang bertanda-tangan dibawah ini:

    fihak ke-1 ....................

    fihak ke-2 ....................

    berdjandji sebagai berikut:

 

      I. MENGENAI HIDUP BERSAMA.

     

      1. Selama perkawinan tidak akan melakukan permaduan;

      2. Rumah-tangga mendjadi tanggung-djawab kedua fihak;

      3. Kedua fihak akan saling mendjaga kehormatan satu sama lain;

      4. Kedua fihak tidak akan melukai hati satu sama lain sehingga mengakibatkan terganggunja ketenteraman rumah-tangga;

      5. Kedua fihak tidak akan melakukan kedjahatan;

      6. Kedua fihak tidak akan mendjadi pemabuk, pemadat, pendjudi, pemboros, atau lain-lain serupa itu jang dapat menimbulkan ketegangan dalam rumah tangga;

      7. Bilamana terdjadi pertjeraian, suami memberi seper .......... dari harta pentjahariannja selama ..........; .......... (waktu);

      8. ....................

 

      II. MENGENAI HARTA BENDA.

      1. Harta benda jang didapat sebelum perkawinan tetap mendjadi milik masing-masing;

      2. Harta benda jang didapat selama perkawinan adalah milik kedua fihak;

      3. Tiap fihak boleh mengadakan usaha (perniagaan) atas nama dan tanggung-djawab diri sendiri;

      4. ....................

 

      III. MENGENAI ANAK-ANAK.

      1. Anak-anak dari perkawinan ini adalah anak dari kedua fihak bersama dan mendjadi tanggung-djawab kedua fihak bersama, baik selama perkawinan maupun sesudah putusnja perkawinan;

      2. Bilamana terdjadi pertjeraian, anak jang dibawah umur .......... tahun akan ikut ibunja atas perongkosan ajahnja;

      3. ....................

 

      IV. LAIN-LAIN.

      1. ....................

      2. ....................

      3. ....................

      4. ....................

 

Fihak ke-2:  Saksi-saksi:  Fihak ke-l.

 

    Keterangan-keterangan:

    1. Supaja diisi titik-titik jang masih kosong seperlunja.

    2. Bilamana tidak dipandang perlu salah satu pasal atau lebih, dapat ditjoret

    3. Bilamana dipandang perlu sebelum perkawinan, fihak ke-l dan ke-2 akan saling memberi surat keterangan kesehatan.

    4. Pasal I. 7 dapat diisi misalnja sepertiga, selama tidak kawin lagi atau selama 10 tahun dan sebagainja.

    5. Bilamana menambah hal-hal lain dalam perdjandjian ini dapat dimasukkan dalam pasal-pasal jang kosong (I. 8; II. 4; III. 3 dan IV).

 

Quelle: Ichtisar Parlamen, No. 26 tahun 1959, S. 218-223.